Selasa, 24 Agustus 2010

WAJIB BELAJAR 12 TAHUN

Kutipan Artikel :


Beberapa hari lalu saya bertemu mantan murid saya di sebuah toko mainan. Murid yang baru lulus tahun lalu itu sekarang menjadi penjaga toko mainan di dekat rumah saya. Dia tidak melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Menengah Atas. Padahal selama saya mengajarnya, saya mendapatinya sebagai murid yang cerdas dan tekun. Malu – malu dia menyapa saya saat bertemu di toko mainan itu. Pertemuan yang mungkin tidak ia harapkan.

Tahun lalu, saat pengumuman kelulusan, anak yang sekarang menjadi penjaga toko itu menangis saat saya bertanya tentang kelanjutan sekolahnya. Menangis saja. Saya jadi bingung karenanya. Beberapa saat setelah berhenti menangis, barulah dia menjawab bahwa dia tidak akan melanjutkan sekolahnya karena orang tuanya tidak mampu membiayai. Karena itu dia menangis. Kuat keinginan dia untuk melanjutkan sekolah. Tapi keinginan itu pupus karena kemiskinan yang ditanggung orang tuanya.
Kurang lebih hanya separuh dari murid saya yang melanjutkan sekolahnya setiap tahun. Separuh sisanya, yang tidak melanjutkan sekolah, memilih untuk bekerja atau kawin. Bukan karena mereka malas sekolah. Tapi karena tidak adanya biaya untuk meneruskan sekolah.
Selain mantan murid saya yang saya ceritakan di atas, beberapa kali saya bertemu dengan mantan murid saya, perempuan, yang lain. Kerapkali sambil menggendong seorang balita, anak – anak mereka. Wajah mereka kelihatan lebih tua dari usia mereka yang sebenarnya. Teman – teman mereka yang melanjutkan sekolah, setiap harinya bergelut dengan persoalan – persoalan di sekolah – ulangan harian, menyelesaikan PR, mengerjakan tugas – tugas. Sedang murid saya yang menggendong anak balitanya itu, telah bergumul dengan persoalan – persoalan hidup yang berat – memenuhi kebutuhan sehari – hari, membayar tagihan hutang, susu anaknya yang habis. Jika teringat itu, saya prihatin.
Pernah saya berada dalam satu bis dengan mantan murid saya yang lain lagi. Dia baru pulang dari Jakarta, bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dandanannya seperti artis ibu kota, pakai lipstick dan bedak tebal. Berpakaian ketat dan bahkan terbuka auratnya. Telepon genggam yang dipegangnya adalah telepon genggam keluaran terbaru dari sebuah merek terkenal. Pasti mahal. Ketika saya tanya berapa tahun dia bekerja di Jakarta, saya menggunakan bahasa Jawa, dia jawab dengan bahasa Indonesia dengan aksen seolah dia lahir dan dibesarkan di Jakarta. Mungkinkah dia lupa dengan bahasa Jawa kampungnya?
Ketika di televisi tersiar kabar tentang pembantu rumah tangga yang mati dianiaya majikannya, dan saat saya tahu ternyata pembantu itu masih berusia belasan, saya berharap murid – murid saya yang tidak melanjutkan sekolah dan kemudian bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak mengalami nasib serupa. Anak – anak muda usia itu dengan mudahnya dibohongi, tidak digaji, diperas tenaganya dan bahkan dianiaya. Anak – anak lulusan SMP, masih kecil, tahu apa? Mungkin begitu pikir sang majikan.
Sakit hati saya ketika melihat seorang mantan murid telah menggendong anak di usia yang masih belia. Sakit hati saya saat melihat seorang mantan murid yang berlagak seperti orang kota dan tak sadar kalau itu tak pantas baginya. Sakit hati saya saat melihat seorang mantan murid yang pandai menjadi pembantu rumah tangga. Sakit hati saya karena kemiskinan yang mereka derita.
Sedangkan sekolah tetap saja mahal, buku pelajaran tetap saja langka, gedung sekolah tetap saja bobrok, gaji guru tetap saja minim. Anak – anak saya tetap banyak yang tidak menuntaskan wajib belajar 12 tahun mereka.


Tidak ada komentar: