Selasa, 24 Agustus 2010

MENGAJARKAN BERFIKIR KRITIS

Kutipan :


Selain wahyu Tuhan, apapun bisa benar, bisa salah. Hanya ajaran Tuhan saja yang benar secara absolut. Selainnya relatif. Tuhan adalah Dzat yang Maha Sempurna. Maka, mustahil jika apa yang diajarkan Tuhan mempunyai celah yang bisa dijadikan manusia untuk mengingkarinya. Sedangkan manusia adalah makhluk di mana bersemayam padanya salah dan lupa. Sehingga, sehebat apapun buah pikiran manusia, pasti ada celah kerapuhan didalamnya. Sebenar apapun pemikiran mereka pasti akan ada batas waktu yang menunjukkan kekurangan padanya.
Ketika kita berhadapan dengan hasil pemikiran manusia, apa yang saya tuliskan di atas mestinya menjadi landasan pertama. Seharusnya, kita kritis dalam menyikapi pandangan-pandangan ilmiah para pakar. Entah pandangan mereka itu telah diakui secara luas dan dipercaya orang selama bertahun-tahun. Atau pemikiran mereka itu sedang booming saat ini, tetap diperlukan sikap yang kritis. Yang saya maksud dengan kritis adalah kita tidak menerimanya secara mutlak tanpa pemikiran mendalam. Kita juga tidak menolaknya secara membabi buta tanpa pengkajian lebih lanjut. Jika Raden Ajeng Kartini mengikuti apa yang telah dianut oleh pendahulnya – bahwa wanita tidak pantas untu berpendidikan tinggi – bisa jadi saat ini wanita tetap berpendidikan rendah dan dinomorduakan. Tapi Kartini berpikir kritis. Dia memberontak melalui tulisan-tulisannya yang dikirimkan kepada sahabatnya di negara Belanda. Hingga dia dikenang orang sebagai pahlawan emansipasi sampai kini. Kartini adalah contoh dari berjuta manusia yang pernah menjadi teladan dalam mengkritisi pemikiran yang sudah mapan.
Menentang arus, apalagi arus utama, bukan suatu perkara yang ringan. Hanya saja, kita harus selalu ingat bahwa banyak hal yang berguna bagi kehidupan manusia yang lahir setelah menentang arus utama ini. Alkisah, ketika pengacara Henry Ford berencana untuk berinvestasi di Ford Motor Company, Presiden Michigan Savings Bank menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu karena menurutnya, sampai kapanpun orang akan tergantung pada kuda sebagai sarana transportasi. Ide menciptakan mobil sebagai sarana transportasi baru adalah pekerjaan orang yang iseng. Tidak disebutkan apakah pengacara Henry Ford itu mengikuti saran presiden bank itu atau tidak. Yang pasti, kalau sang pengacara mengikuti saran sang presiden bank itu, dia akan menyesal seumur hidupnya. Sebab, sang presiden bank telah salah – sampai saat ini Ford Motor Company tetap menjadi perusahaan otomotif yang disegani. Terbukti hingga kini, mobil menjadi moda transportasi yang paling banyak dipakai orang. Bukan kuda.
Anak didik kita perlu diajari untuk berpikir kritis. Bahkan penting bagi kita untuk menanamkan pola pikir kritis terhadap semua temuan manusia kepada mereka. Sehingga mereka tidak hanya menelan mentah-mentah semua bahan pelajaran. Menjadikannya suatu kebenaran final yang tidak akan tergantikan. Yang pada gilirannya kelak hal ini akan menjadikan mereka mengekor saja pada suatu pemikiran atau tren yang sedang berlangsung di tengah masyarakat. Bahkan ketika hal itu salah. Kesalahan yang karena telah dilakukan oleh mayoritas orang kini menjadi suatu yang benar dan diikuti.
Sekolah, dalam kapasitas tertentu, hendaknya menjadi tempat yang mampu memberikan pencerahan bagi pemikiran anak didik. Kita bisa lihat disekitar, betapa banyak siswa-siswa kita yang larut dalam arus konsumtivisme dan mengolok-olok temannya yang tidak mau mengikuti pola hidup ini. Norma-norma yang berlaku di masyarakat kita tampaknya semakin longgar saja. Yang karena itu, anak sekolah yang bergaul dengan bebas pun tidak menjadi perhatian yang serius. Bukankah konsumtivisme itu suatu tren yang denan sengaja telah diciptakan? Tren yang bagi sebagian kecil anggota masyarakat disadari sebagai suatu tren yang berpotensi merusak secara masif ? Ketika anak-anak kita, sebagai penyambung rantai generasi, ikut larut di dalamnya, apa yang bisa dilakukan sekolah ? Sudah saya singgung di muka. Sekarang kita bicarakan kongkretnya.
Umumnya, pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah kita memberlakukan buku sebagai satu-satunya bahan untuk mendapatkan ilmu. Guru yang mengambil intisari darinya untuk kemudian ditransfer kepada anak didik. Apa yang telah diajarkan itu selanjutnya diulang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam bentuk tertulis ketika ujian. Tidak ada ruang untuk pandangan pribadi disana, mirip copy lalu paste dalam pengoperasian komputer. Artinya, semua berjalan secara mekanis. Bukan dinamis dan inovatif.
Padahal, ketika kita mengajarkan suatu teori yang sudah berulang-ulang dan telah diterima secara luas itu, kita bisa menyertakan pandangan lain yang bisa jadi kontra dengan teori yang mapan. Teori yang belum bisa mengalahkan teori yang sudah dikenal dan diyakini secara luas. Mari kita ambil sebuah contoh. Ketika membahas tentang pusat tata surya, yang umum diyakini adalah teori bahwa mataharilah pusat tata surya. Bumi beserta planet-planet lain berevolusi mengitari matahari. Teori ini tidak pernah terbantahkan. Guru-guru kita dahulu mengajarkan demikian. Bagitu pula guru-guru IPA saat ini. Anak-anak menyerapnya dan menghapalnya. Menajdikannya sebagai kebenaran tunggal. Memang ketika membahas itu, guru juga menyampaikan adanya teori lain yang mengatakan bahwa bumilah pusat tata surya. Guru juga menyampaikan betapa lamanya perdebatan antara penganut kedua teori itu. Betapa perdebatan itu telah memakan korban. Tetapi kesimpulan guru tetaplah pada keyakinan bahwa mataharilah pusatnya. Guru tidak pernah menyampaikan kalau teori yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Guru tidak pernah menyampaikan bahwa teori-teori itu masih sebatas dugaan yang bisa saja salah. Guru tidak pernah menyampaikan bahwa sampai saat ini kaum agamawan tetap percaya bahwa bumilah pusat tata surya dengan menggunakan kitab suci sebagai penguat argumen.
Contoh lain, pernahkah guru membahas tentang kontroversi seputar SUPERSEMAR?, pernahkah guru bahasa Inggris menegaskan bahwa betapa penggunaan bahasa asing ini oleh warga kita hapir-hampir menggusur peran Bahasa Indonesia? pernahkah guru matematika atau fisika mendorong agar siswa membuat rumus yang berbeda dengan yang ditulis dibuku-buku teks? Dengan melakukan hal ini, bukanlah maksud kita untuk membebani siswa atau membuat mereka bingung. Tetapi mengajarkan dan melatih mereka untuk berpikir kritis. Melatih mereka untuk selalu memandang segala sesuatu dari berbagai sisi yang berbedaa.
Ketika seorang guru selalu membiasakan dirinya, juga murid-muridnya untuk selalu menerima satu jawaban benar dari suatu permasalahan, mereka tidak akan siap menerima perbedaan. Mereka cenderung akan bersikap tidak berani tampil beda. Padahal ketika terjun ke masyarakat, permasalahan-permasalahan seperti ini akan mengemuka. Dalam masyarakat yang heterogen, seorang yang tidak memiliki karakter yang mantap akan terombang-ambing. Mereka akan cenderung ikut-ikutan dan tidak memiliki pendirian. Dengan membiasakan berpikir kritis, kita berharap pada gilirannya nanti akan membentuk karakter para siswa. Karakter yang mendorong mereka untuk tampil beda, bukan karena sekedar ingin tampil beda.
Untuk mengajarkan berpikir kritis, guru perlu memiliki wawasan yang luas. Guru harus banyak membaca dan mengikuti perkembangan kekinian. Selebihnya, mereka harus mampu manjadi model bagi murid-muridnya sebagai pribadi yang kritis dan berkarakter kuat. Sudah saatnya pendidikan kita tidak hanya melahirkan lulusan-lulusan yang pandai menghapal, tetapi juga melahirkan pribadi-pribadi yang berkarakter kuat. Pribadi-pribadi yang akan menghiasi zaman. Bukan yang menjadi korban zamannya.

Tidak ada komentar: