Selasa, 24 Agustus 2010

MINAT BACA GURU DAN SISWA

Kutipan :


If we encounter a man of rare intellect, we should ask him what books he reads. Demikian ucapan Emerson. Terjemahan bebasnya ; jika kita menjumpai seseorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, kita mestinya bertanya kira-kira buku apa yang dibacanya. Ucapan Emerson itu pastilah bukan omong kosong yang tanpa makna. Dimanapun tempat dan waktu, orang-orang yang memiliki intelektual tinggi selalu bergaul rapat dengan buku-buku.
Maka, sungguh ironis ketika kita dapati kenyataan bahwa minat baca di kalangan guru dan siswa masih sangat rendah. Laporan UNESCO statistical year book menunjukkan hal ini. Menurut UNESCO, tiras surat kabar Indonesia hanya 2,8% saja dari jumlah penduduk. Padahal indeks minimal yang ditetapatkan UNESCO adalah 10%. Sebagai perbandingan, tiras surat kabar di negara-negara maju telah mencapai 30%. Masih menurut UNESCO, Indonesia hanya menerbitkan 9 judul buku negara untuk setiap satu juta penduduk. Padahal negara maju mencetak 513 judul buku per satu juta penduduk. Betapa jauh rentang antara keduanya.
Apakah kita akan menyalahkan penerbit-penerbit buku yang hanya mencetak buku sesedikit itu? Tentu saja tidak. Pihak penerbit buku hanya menerbitkan buku sesuai permintaan pasar. Mereka tentu tidak ingin rugi dengan mencetak banyak buku yang tidak begitu laku. Umumnya, orang (Indonesia) tidak begitu rela mengeluarkan uang demi membeli buku. Sebaliknya, mereka seakan-akan tidak sadar kalau telah mengeluarkan banyak uang untuk membeli barang-barang konsumtif seperti pakaian, atau barang-barang elektronik. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat kita yang melakukan hal itu. Karena apa yang dilakukan oleh masyarakat merupakan dampak dari perkembangan global yang sedang berlangsung.
Masyarakat kita di jaman dulu mengenal istilah gethok tular, suatu frasa yang mewakili keadaan sosial masyarakat dimana suatu informasi di sebar luaskan secara lisan. Ketika masyarakat kita masih memakai tradisi ini, tekhnologi yang berkembang dengan pesat membawa mereka ke tradisi lainnya (tradisi menonton) yaitu dengan ditemukannya televisi sebagai media penyampai informasi yang lebih cepat, dan lebih akurat.
Sampai sekarang, kedua tradisi ini, tradisi lisan dan tradisi menonton masih merupakan tradisi yang paling dominan dalam masyarakat kita. Dinegara yang mempunyai masyarakat dengan minat baca tinggi, tradisi lisan dan tradisi menonton bukannya tidak ada. Cuma, di negara maju, perpindahan dari tradisi lisan ke tradisi menonton dilalui dengan tradisi membaca terlebih dahulu. Sedang di masyarakat kita, tradisi membaca belum dilalui. Maka kita tidak perlu heran jika guru atau siswa, sebagai bagian dari masyarakat, banyak yang acuh tak acuh dengan buku.
Akan tetapi, keadaan ini tidak perlu dilestarikan. Harus ada yang dilakukan sehingga kegiatan membaca menjadi kegiatan yang populer di kalangan guru dan siswa. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tetap bisa dilakukan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang dapat menumbuh kembangkan minat baca. Dengan guru sebagai ujung tombaknya, setiap sekolah pasti mempunyai fasilitas untuk menggiatkan aktivitas membaca. Fasilitas itu adalah perpustakaan. Cuma, kebanyakan perpustakaan sekolah belum diperlakukan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Kebanyakan perpustakaan sekolah menempati ruangan yang sempit dan kadang pengap bahkan kumuh. Coba bandingkan dengan ruang laboratorium komputer misalnya, tentu akan jauh berbeda. Keadaan ini diperburuk dengan penataan buku yang tidak rapi dan petugas perpustakaan yang asal rekrut. Di beberapa perpustakaan, petugas yang menjaga perpustakaan adalah juga guru. Dengan demikian, jika guru sedang mengajar atau tidak masuk sekolah, secara praktis perpustakaan akan tutup.
Pemanfaatan perpustakaan sebagai tempat pengajaran juga sangat minim. Banyak pengajaran sastra yang cukup dilakukan di dalam kelas. Padahal, jika di lakukan di dalam perpustakaan pasti banyak manfaat yang bisa diambil. Ketika membahas puisi “AKU” karya Chairil Anwar, misalnya guru bisa menjelaskan bahwa banyak karya-karya Chairil Anwar yang bagus. Kemudian guru meminta para siswa untuk mencari karya-karya Chairil Anwar yang lain. Dan meminta mereka untuk menyalin satu puisi yang bagus menurut mereka. Jika hal seperti ini rutin dilakukan disetiap jenjang pendidikan, kita bisa berharap tumbuhnya minat baca di kalangan siswa.
Ketrampilan menulis merupakan hasil dari kebiasaan membaca. Walaupun untuk bisa menulis dengan baik diperlukan latihan terus menerus dan lama. Sayangnya, sebagaimana membaca, ketrampilan menulis belum secara intens dilakukan di sekolah-sekolah. Guru (Bahasa Indonesia) bisa meminta agar anak didiknya menuliskan pengalaman mereka setiap hari dalam bentuk jurnal harian, yang dikumpulkan dan diperiksa guru setiap minggu. Kemudian guru memberikan masukan teknis seputar penulisan jurnal oleh anak-anak itu. Sebab ketrampilan didapatkan dari kebiasaan yang dilakukan, tulisan siswa akan semakin mambaik dengan berjalannya waktu.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan minat dan ketrampilan menulis dan membaca sekaligus adalah dengan menyelenggarakan lomba penulisan resensi buku-buku populer. Ketebalan dan tingkat kesulitan buku disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pemilihan buku-buku populer untuk diresensi, dan bahan buku-buku sastra milik pujangga-pujangga besar Indonesia. Dimaksudkan untuk lebih menggugah minat siswa untuk mengikuti perlombaan tersebut.
Guru, mau tidak mau, harus mendisiplinkan diri untuk membaca. Berat yang dirasakan dalam mengawali aktivitas ini harus dilakukan dengan bertahap. Setiap guru, ketika kuliah, pasti banyak menghabiskan waktu untuk aktivtas membaca dan menulis. Ketika ditanya, mengapa para guru tidak lagi membaca dan menulis secara kontinyu seperti ketika mereka kuliah? Biasanya jawaban yang dilontarkan adalah, karena mahalnya harga buku dan sempitnya waktu yang dimiliki mereka. Dalam menyikapi mahalnya harga buku, pemerintah mestinya mengurangi pajak dari buku atau malah menghapuskan sama sekali pajak buku itu. Dengan demikian harga buku menjadi lebih terjangkau, sedangkan tentang minimnya waktu, adalah masalah bagaimana mengatur waktu. Artinya, hal ini dikembalikan kepada masing-masing guru.
Sebagaimana yang telah dijelaskan. Azas utama dari ketrampilan menulis adalah membaca. Kesulitan utama dari menulis, seperti keringnya ide untuk menulis, bisa diuraikan dengan banyaknya aktivitas membaca buku-buku bermutu. Jika hal ini telah terlaksana secara luas, kita tidak akan mendengar lagi adanya jual beli karya tulis dikalangan guru.

Tidak ada komentar: