Kamis, 05 Februari 2015

HUBUNGAN TELEVISI DAN PENDIDIKAN

PERLU DIPERHATIKAN ....

DAMPAK TAYANGAN TELEVISI TERHADAP TINGKAH LAKU MASYARAKAT 

Berawal dari keprihatinan saya terhadap dampak tayangan televisi terhadap tingkah laku khalayak umum (terutama anak-anak), saya menulis artikel ini. Tujuannya untuk membangkitkan kembali kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya kualitas program televisi yang ditayangkan. Karena banyak dari kita tidak menyadari akan pentingnya fungsi tayangan televisi terhadap perilaku kita di kehidupan sehari-hari. Seharusnya, televisi bisa menjadi sarana belajar bagi khalayak, namun yang terjadi malah sebaliknya. Tayangan televisi justru memiliki dampak yang buruk terhadap perilaku masyarakat. Banyak tingkah laku dalam program televisi yang sangat tidak layak untuk ditirukan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang kita ketahui, televisi adalah sebuah media yang tergolong paling unik dalam sejarah penemuan media saat ini. Jalur komunikasi yang memadukan dua unsur yaitu audio dan visual membuat media ini lebih mudah untuk dinikmati dibandingkan dengan media yang lain yang hanya memadukan satu jalur komunikasi saja. Masyarakat lebih tertarik menonton televisi ketimbang membaca koran yang hanya bisa dinikmati visualnya dengan cara membaca, atau radio yang hanya bisa dinikmati audionya saja. Jika kita tinjau kembali, stasiun televisi memang mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Masyarakat semakin menunjukkan respon yang positif pada tayangan-tayangan yang ada di televisi. Pengaruh televisi terhadap perkembangan zaman sudah sangat besar. Namun dari sinilah keprihatinan kita bermula.

Pada era globalisasi ini, begitu banyak tayangan televisi dengan fungsi menghibur. Menghibur disini bisa dijabarkan sebagai penghilang stres, pengundang tawa, pengisi waktu ketika santai, dan lain sebagainya. Namun fungsi ini hanya berhenti pada titik “menghibur” saja, tidak sampai fungsi mendidik. Maka akibatnya, banyak tayangan menghibur yang justru menjauhi nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Tayangan televisi yang ada jutru dianggap tidak rasional, karena tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Bagi anak-anak dibawah umur dan remaja, tayangan ini bisa menjadi contoh dan teladan (yang buruk). Karena anak-anak yang masih pada masa pertumbuhan akan cenderung melakukan hal-hal yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari (dalam hal ini adalah tayangan televisi). Anak-anak dan remaja akan cenderung menirukan apa yang mereka saksikan di televisi.

Misalnya, tayangan sinetron anak SMA. Perilaku anak SMA yang ada dalam sinetron sangat tidak mencerminkan anak SMA yang seharusnya. Kita bisa melihat langsung bagaimana penampilan anak SMA di dalam sinetron (seragam tidak rapi, baju dikeluarkan, rok yang sangat pendek, sepatu yang tidak hitam polos, kaos kaki warna-warni, memakai aksesoris yang berlebihan, perilaku murid yang tidak sopan kepada guru, guru yang suka berteriak-teriak, konflik yang ada juga terlalu berlebihan dan tidak rasional), tentu saja hal ini sangat jauh dari perilaku anak SMA yang seharusnya. Cepat atau lambat, anak-anak dan remaja akan menirukan gaya ini. Kita bisa melihat secara langsung dampaknya pada murid-murid di sekolah-sekolah. Bisa kita simpulkan, bahwa tayangan televisi yang seperti ini akan merusak moral generasi muda.

Kita bisa juga mengambil contoh dari acara gosip atau infotaiment. Sang pembawa acara akan berbicara dengan berlebihan seputar berita yang akan ditayangkan. Berita-berita ini juga sangat tidak layak untuk ditayangkan, karena dengan sengaja mengumbar kehidupan pribadi para selebriti. Padahal kehidupan pribadi ini adalah aib yang harus ditutupi oleh keluarga si selebriti itu sendiri. Pada zaman sekarang, publikasi permasalahan pribadi kalangan artis sudah menjadi tontonan yang biasa. Entah apa yang membuat para wartawan begitu bersemangat mencari berita seperti ini. Tapi kita tidak bisa hanya menyalahkan wartawan, kadang justru sang selebriti yang dengan senang hati mempublikasikan permasalahan pribadinya kepada pers. Sayangnya khalayak juga menunjukan respon yang besar terhadap tayangan ini, padahal tayangan ini tidak ada manfaatnya untuk kehidupan pribadi sang penonton. Kita hanya diajarkan untuk menyaksikan aib orang lain dan kemudian membicarakannya kepada orang lain. Biasanya seseorang yang menonton tayangan infotaiment, setelah ia mengetahui satu berita, ia akan menyebarkan berita itu kepada orang lain. Ujung-ujungnya bergosip. Biar update, katanya. Hal ini sangat tidak pantas untuk dilakukan karena tidak memiliki dampak yang positif sama sekali bagi orang tersebut.

Contoh lain adalah acara musik. Di dalam tayangan ini, musik-musik yang ditunjukkan malah musik-musik bertema galau, alay, jatuh cinta, dan lain sebagainya. Yang apabila para anak muda mendengarkannya, akan menimbulkan perasaan yang berlebihan. Mereka yang mendengarkan musik galau akan semakin galau. Mereka yang mendengarkan musik jatuh cinta akan semakin mencinta sampai akhirnya menganggap cinta sebagai hal yang berlebihan. Para penonton acara ini juga menunjukkan perilaku ke-alay-an, yang menurut penilaian saya “nggak banget deh.”

Dari ketiga contoh fenomena tersebut, kita sudah dapat melihat dampaknya secara nyata. Bagaimana anak SMA zaman sekarang dalam berperilaku, bagaimana obrolan ibu-ibu dalam perkumpulan, bagaimana tingkah anak muda dalam pergaulan, semua itu akan merusak moral masyarakat.

Memang tidak semua acara televisi memiliki dampak yang negatif bagi khalayak umum, namun sebagian besar tayangan tersebut sudah cukup menjadi mimpi buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat. Hanya sedikit masyarakat yang menunjukkan respon terhadap acara-acara yang lebih bermanfaat. Kebanyakan dari mereka terlalu terhipnotis terhadap hiburan-hiburan mengundang tawa yang justru tidak bermanfaat bagi mereka.

Seandainya saja, stasiun televisi bisa memberikan kesempatan untuk menayangkan acara televisi yang bermanfaat dan mendidik, mungkin dampak buruk televisi tidak akan separah ini. Masih banyak tayangan-tayangan bermanfaat yang bisa kita pertimbangkan. Misalnya, acara yang mengupas tuntas budaya dan keindahan Indonesia, acara edukasi baik untuk pelajar maupun masyarakat umum, acara kesehatan, acara keluarga, tayangan inspiratif, tayangan tentang perkembangan dunia, dan lain sebagainya. Kita bisa saja menayangkan acara ini dengan bungkus yang menarik, tentu saja dengan tim kreatif yang memiliki niat yang besar untuk memperbaiki moral para masyarakat.

Coba bayangkan, seandainya tayangan televisi yang saya sebut diatas bisa benar-benar ditayangkan, tentu saja anak-anak, remaja, dan masyarakat umum akan belajar dari sana. Televisi bisa menjadi sarana bagi orang tua untuk mendidik anaknya. Televisi bisa menjadi tayangan yang menghibur sekaligus mendidik dan menambah pengetahuan. Dengan begitu, moral dan ilmu para khalayak akan meningkat.

Sudah saatnya kita memberikan respon yang positif terhadap acara televisi yang bermanfaat dan mendidik. Semakin banyak respon terhadap tayangan itu, semakin berkembang pula tayangan itu. Dengan demikian, televisi akan memperbanyak tayangan yang lebih bermanfaat bagi penontonnya.

Ayo sebarkan inspirasi, sadarkan masyarakat akan pentingnya fungsi tayangan televisi bagi mereka! Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Untuk generasi yang lebih baik. (red)

HUBUNGAN TELEVISI DAN PENDIDIKAN

LITERATUR tentang fungsi media senantiasa mengetengahkan bahwa fungsi media ialah informasi, hiburan, dan pendidikan. Media cetak pada umumnya lebih memberikan penekanan pada fungsi informasi dan hiburan, sedangkan televisi (TV) lebih cenderung mengedepankan fungsi hiburan dan informasi, sementara itu, fungsi pendidikan bagi TV cenderung diposisikan sebagai unsur pelengkap. Mengapa demikian?

Apakah karena pengelola stasiun TV tidak menyadari tanggung jawab sosial mereka kepada pemirsa? Ataukah karena fungsi pendidikan dianggap merupakan tanggung jawab utama keluarga dan sekolah? Padahal, kita tahu bahwa apa pun yang disiarkan TV, sadar atau tidak, dimaksudkan atau tidak, akan senantiasa menyosialisasikan nilai-nilai sosial-budaya tertentu dan berdampak pada pemirsa.

Tidak jarang orang menuduh siaran TV menjadi biang keladi perilaku sosial menyimpang yang terjadi di masyarakat. Padahal, mungkin saja terjadi saat dilakukan survei menyangkut pengaruh siaran TV pada pemirsa, ternyata tindakan yang dilakukan responden, independen dari siaran TV. Artinya, responden tidak menyaksikan siaran TV dan tindakannya dijalankan secara spontan tanpa ada kaitannya dengan siaran TV.

Belum lagi kalau kita menelaah lebih jauh penelitian tentang hubungan antara tayangan kekerasan di TV (TV violence) dan perilaku kekerasan aktual di masyarakat, ternyata hasilnya menunjukkan penyebab kekerasan di masyarakat ialah faktor struktural (kesenjangan sosial-ekonomis, lingkungan, dan sebagainya). Tayangan kekerasan di TV bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan di masyarakat, melainkan sebagai faktor yang memperkuat atau mengukuhkan nilai kekerasan yang sudah ada (Joseph Klapper, 1967). Di satu sisi, saat TV menayangkan peristiwa kekerasan di masyarakat, niatnya membuat masyarakat waspada terhadap kemungkinan tindakan kekerasan yang ada di lingkungan sosial. Namun saat frekuensi penayangan tindakan kekerasan menjadi berlebihan, niat mendidik masyarakat malah berbalik membuat masyarakat menjadi takut dan waswas. Di lain pihak, penayangan tindak kekerasan yang berlebihan akan menimbulkan pula dampak psikologis dalam bentuk desensitizing process (proses kehilangan kepekaan akibat tindakan yang sebenarnya luar biasa, malah dianggap normal karena terlalu sering disaksikan).

Dalam kondisi di saat TV dihadapkan pada dikotomi antara tayangan mendidik dan tidak mendidik, stasiun TV akan cenderung berdalih dengan mengatakan apa pun program yang ditayangkan senantiasa memiliki dampak yang diniatkan (intended consequences) dan dampak yang tidak direncanakan (unintended consequences).

Niat program TV senantiasa baik, tetapi pemirsa akan menilai kualitas sebuah tayangan sesuai dengan persepsi masingmasing yang memang pada dasarnya sudah berbeda. Sebagai ilustrasi, saat stasiun TV mengampanyekan pemberantasan HIV/ AIDS dengan sosialisasi penggunaan kondom (niat baik), pesan TV malah dituduh mendorong praktik seks bebas melalui pemanfaatan kondom (dampak buruk).
Sikap proaktif

Dalam dilema semacam ini, tidak banyak pihak yang dapat melihat secara propor sional sejauh mana sebenarnya TV dapat berperan dalam proses pendidikan. Fungsi pendidikan dilekatkan pada mass media (termasuk TV) karena posisi media sebagai lembaga pendidikan informal. Dalam pendidikan formal, di rumah dan sekolah, nilai-nilai pendidikan disampaikan melalui proses yang interaktif dan dialogis.

Melalui lembaga pendidikan informal yang dijalankan mass media, nilai-nilai pendidikan disisipkan melalui tayangan yang disajikan dalam proses yang monologis. Masalah apakah pemirsa mengerti pesanpesan pendidikan yang diselipkan melalui tayangan TV ataupun apakah mereka memperoleh manfaat pembelajaran, akan bergantung pada persepsi setiap pemirsa.

Setiap pembahasan mengenai mendidik tidaknya tayangan TV pada pemirsa akan sangat bergantung pada sikap proaktif pemirsa untuk memilih dan memilah, antara nilai positif mana yang perlu diinternalisasi untuk kemudian diadopsi dan nilai negatif mana yang perlu diabaikan.

Cara TV menjalankan fungsi pendidikan tidak mungkin dilakukan dengan cara yang linear. Jika hal tersebut dijalankan, mungkin akan membosankan. Nilai pendidikan disampaikan melalui penampilan pesanpesan yang kontras bahkan kontroversial.Kebaikan dikontraskan dengan kejahatan, kecerdasan akan dipertentangkan dengan kebodohan, kepolosan dengan keculasan, bahkan kekerasan dengan kasih. Masalah etika akan timbul, dan dengan sendirinya peran pendidikan akan dipermasalahkan manakala penyampaian pesan dilakukan dengan cara yang tidak proporsional. Atau manakala, nilai-nilai (values) yang negatif memperoleh legitimasi dalam bentuk pembenaran. Tema bahwa kebaikan mengalahkan kebatilan, kejujuran menundukkan kecurangan dan seterusnya, tetap harus dipertahankan dan dijaga sebagai pesan moral.

Panggilan medium TV memang untuk menghibur pemirsa karena jika tayangan tidak menghibur, tentu akan kehilangan pemirsa. Jumlah pemirsa yang tecermin pada rating itulah yang dijual pada agensi untuk menghadirkan iklan, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan ekonomis agar stasiun TV tetap eksis. Logika instrumental bisnis TV memang mencari untung, tetapi logika ideal operasional TV ialah melayani pemirsa dengan tayangan yang menghibur dan sejauh mungkin mendidik.

Jika di sana-sini masih terjadi benturan antara fungsi hiburan dan pendidikan, patut dipahami bahwa pengelola stasiun TV masih berusaha mencari `format yang pas’. Dalam situasi ini, pemirsa juga diminta menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi pendidikan, mass media, termasuk TV, tidak mungkin mengganti peran rumah tangga apalagi sekolah. Posisi mass media sekadar melengkapi peran lembaga pendidikan yang sudah ada.

Sumber Rujukan :
Suryani Zaini    Anggota Dewan Redaksi Indosiar dan SCTV
MEDIA INDONESIA,  10 Januari 2015

Tidak ada komentar: